Minggu ke 9 – 11
Minggu ke - 9
Perlindungan Konsumen
I. Pengertian Konsumen
Perlindungan
konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan
terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual diwajibkan
menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen.
Sedangkan
pengertian perlindungan konsumen yaitu :
Menurut
Undang-undang no. 8 Tahun 1999, pasal 1 butir 1 :
“segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen”.
GBHN
1993 melalui Tap MPR Nomor II/MPR/1993, Bab IV, huruf F butir 4a:
“
… pembangunan perdagangan ditujukan untuk memperlancar arus barang dan jasa
dalam rangka menunjang peningkatan produksi dan daya saing, meningkatkan
pendapatan produsen, melindungi kepentingan konsumen…”
Hukum perlindungan konsumen adalah “Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/ atau jasa konsumen”. Jadi, kesimpulan dari pengertian –pengertian diatas adalah bahwa Hukum perlindungan Konsumen dibutuhkan apabila kondisi para pihak yang mengadakan hubungan hukum atau yang bermasalah dalam keadaan yang tidak seimbang.
II. Azas dan Tujuan
Azas-azas
perlindungan konsumen
Pasal
2 UU PK :
a. Azas manfaat
Azas
ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak
ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggidibanding pihak lainnya. Kedua
belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
b. Azas keadilan
Dapat
dilihat di pasal 4-7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen
serta pelaku usaha. Diharapkan melalui azas ini konsumen dan pelaku usaha dapat
memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
c. Azas Keseimbangan
Diharapkan
kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara
seimbang, tidak ada pihak yang dilindungi.
d. Azas keamanan dan keselamatan
konsumen
Memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakain, dan
pemanaatan barang atau jasayang dikonsumsi atau digunakan.
e. Azas Kepastian Hukum
Baik
konsumen dan pelaku usaha harus mentaati hokum dan memperoleh keadilan dalampenyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
Tujuan
Perlindungan Konsumen
Pasal
3 UU PK :
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen
dengan cara menghindarkannya aru akses negative pemakain barang atau
jasa.
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam
memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4. Menciptakan system perlindungan konsumen
yang mengandung unsur kepastian hokum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi.
5. Menumbuhkan kesadaran ppelaku usaha
mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujuur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang atau jasa
yang menjamin kelangsungan usaha prodiksi barang atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
III. Hak dan Kewajiban Konsumen
Sesuai
dengan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Hak-hak Konsumen
adalah :
1. Hak atas kenyaman, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa.
2. Hak untuk mamilih barang atau jasa serta
mendapatkan barang atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas,
dan jujur mengenai kondisi dan jamina barang atau jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelasain sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
6. Hak untuk pembinaan dan pendidikan
konsumen.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti
rugi atau penggantian, apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan
kewajiban konsumen :
1. Membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakain atau pemanfaatan barang atau jasa demi keamanan
dan keselamatan.
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi
pembelian barang atau jasa.
3. Membayar sesuia dengan nilai tukar yang
disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum
sengketa perlindungan konsumen.
IV. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal
6, tentang hak pelaku usaha, hak-hak pelaku usaha adalah :
1. Hak untuk menerima pembayaran yang
sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa
yang diperdagangkan.
2. Hak untuk mendapat perlindungan hokum
dari tindakan yang beritikad tidak baik.
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri di
dalam penyelesaian hokum sengketa.
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila
terbukti secara hokum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang
atau jasa yang diperdagangkan.
Kewajiban
pelaku usaha diatur dalam pasal 7 yaitu :
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya.
2. Memberikan informasi yang benar, jelas,
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta member penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
3. Memperlakukan atau melayani konsumen
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
4. Menjamin mutu barang atau jasa yang
diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu baranga atau
jasa yang berlaku.
5. Member kesempatan kepada konsumen untuk
menguji atau mencoba barang atau jasa tertentu serta member jaminan atau
garansi atas barang yang dibuat atau yang diperdagangkan.
6. Member kompensasi, ganti rugi atau
penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, pemanfaatan barang atau
jasa yang diperdagangkan.
7. Member kompensasi, ganti rugi atau
penggantian apabila barang atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.
V. Perbuatan yang dilarang bagi
pelaku usaha
1. Pelaku usaha dilarang
memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa yang :
· Tidak memenuhi atau tidak
sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan peruundang-undangan.
· Tidak sesuai dengan berat
bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaiman yang
dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.
· Tidak sesuai dengan ukuran,
takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
· Tidak sesuai dengan
kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam
label, etiket atau keterangan bbarang atau jasa tersebut.
· Tidak sesuai dengan mutu,
tingkaan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu
sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang atau jasa tersebut.
· Tidak sesuai dengan janji yang
dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang
atauu jasa tersebut
· Tidak mencantumkan tanggal
kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atas
barang tertentu.
· Tidak mengikuti ketentuan
berproduksi secara halal, sebagaimana mestinya pernyataan “halal” yang
dicantumkan dalam label.
· Tidak memasang label atau
membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat atau isi
bersih(netto), komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang
menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat.
· Tidak mencantumkan informasi
atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku.
· Pelaku usaha dilarang
memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa member
informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
· Pelaku usaha dilarang
memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan
tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
· Pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang atau
jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran
2. Pelaku usaha dilarang
menawarkan, mempromosikan, mengiklankan satu barang atau jasa secara tidak
benar, dan atau seolah olah :
· Barang tersebuut telah memenuhi
dan memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau
mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu.
· Barang tersebut dalam keadaan
baik atau baru.
· Barang atau jasa tersebut telah
mendapatkan atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu,
keuntungan tertentu, cirri-ciri kerja atau aksesori tertentu.
· Barang atau jasa tersebut
dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan, afiliasi.
· Barang atau jasa tersebut
tersedia.
· Barang tersebut tidak
mengandung cacat tersembunyi.
· Barang tersebut merupakan
kelengkapan dari barang tertentu.
· Barang tersebut berasal dari
daerah tertentu.
· Secara langsung atau tidak
langsung merendahkan barang atau jasa lain.
· Menggunakan kata-kata yang
berlebihan, seperti aman, tidak berbahayya, tidak mengandung resiko atau efek
sampingan tanpa keterangan yang lengkap.
· Menawarkan sesuatu yang mengandung
janji yang belum pasti.
· Barang atau jasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan
· Pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadapa ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan
pengiklanan barang atau jasa tersebut.
3. Pelaku usaha dalam menawarkan
barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdaganngkan dilarang menawarkan,
mempromoosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau
menyesatkan menggenai :
· Harga atau tarif barang atau
jasa.
· Penggunaan suatu barang
atau jasa.
· Kondisi, tanggunagn, jaminan,
hak atau ganti rugi atas suatu barang atau jasa.
· Tawaran potongan harga atau
hadiah menarik yang ditawarkan.
· Bahaya penggunaan barang atau
jasa.
4. Pelaku usaha dalam hal
penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui
atau menyesatkan konsumen dengan :
· Menyatakan barang atau jasa
tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu.
· Menyatakan barang atau jasa
tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi.
· Tidak berniat untuk
menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang yang
lain.
· Tidak menyediakan barang dengan
juumlah tertentu atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang yang lain.
· Tidak menyediakan jasa dalam
kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjial jasa yang
lain.
· Menaikan harga atau tarif
barang atau jasa sebelum melakukan obral.
5. Pelaku usaha dilarang
menawarkan, empromosikan atau mengiklankan suatu barang atau jaa dengan harga
atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha
tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannyasesuai dengan waktu dan jumlahh yang
ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.
6. Pelaku usaha dilarang
menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang atau jasa dengan cara
menjanjikan pemberian hadiah berupa barang atau jasa lain secara Cuma-Cuma
dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan sebagaimana yang
dijanjikannya.
7. Pelaku usaha dilarang
menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen
makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan menjanjikan
pemberian hadiah berupa barang atau jasa lain.
8. Pelaku usah dalam menawarkan
barang atau jasa yang ditujuka untuk diperdagangkan memberikan hadiah melalui
cara undian, dilarang untuk :
· Tidak melakukan penarikan
hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan.
· Mengumumkan khasilnya tidak
melalui media massa.
· Memberikan hadiah tidak sesuai
yang dijanjikan.
· Mengganti hadiah yang tidak
setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
9. Pelaku usaha dalam menawarkan
barang atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemakdaan cara lain yang dapat
menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
10. Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa melalui pesanan
dilarang untuk :
· Tidak menepati pesanan atau
kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang diijanjikan
· Tidak menepati janji atau
suatu pelayanan atau prestasi.
11. Pelaku periklanan dilarang memproduksi iklan yang :
· Mengelabui konsumen mengenai
kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang atau tariff jasa serta
ketepatan waktu penerimaan barang atau jasa.
· Mengelabui jaminan atau garansi
terhadap barang atau jasa.
· Memuat informasi yang keliru,
salah., atau tidak tepat mengenai barang atau jasa.
· Tidak memuat informasi mengenai
resiko pemakaian barang atau jasa.
· Mengeksploitasu kejadian atau
seseorang tanpa izin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan.
· Melanggar etika atau kettentuan
peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
· Pelaku usaha periklanan dilarag
melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggara ketentuan pada ayat (1).
VI. Klausula Baku dalam Perjanjian
Klausula
baku adalah setiap syarat dan ketentuan yang telah disiapkan dan ditetapkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pengusaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen atau perjanjian yang engikat dan wajib dipenuhi olehkonsumen. Lazimnnya
klausula baku dicantumkan dalam huruf kecil pada kuitansi, faktur atau bon,
perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli.
Memang
klausula baku potensial merugikan konsumen karena tak memiliki pilihan selain
menerimanya. Namun di sisi lain, harus diakui pula klausula baku sangat
membantu kelancaran perdagangan. Sulit membayangkan jika dalam banyak
perjanjian atau kontrak sehari-hari kita harus selalu menegoisasikan syarat dan
ketentuannya. Misalnya, jika membeli tiket meninton pertunjukan, apakah wajar
untuk menegoisasikan akibat hukum jika pertunjuka itu dibatalkan ? namun
demikian, untuk melindungi kepentingan konsumen beberapa jenis klausula baku
secara tegas diilarang dalam undang-undang perlindungan konsumen.
Klausula
baku yang dilarang, ada klausula baku yang diilarang dalam UU PK artinya
klausula baku selain itu sah dan mengikat secarra hukum.
Klausula
baku dilarang mengandung unsure-unsur atau pertanyaan :
1. Pengalihan tanggung jawab
pelaku usaha (atau pengusaha) kepada konsuumen.
2. Hak pengusaha untuk menolak
mengembalikan barang yang dibeli konsumen.
3. Hak pegusaha untuk menyerahkan
uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli konsumen.
4. Pemberian kuasa dari konsuumen
kepada pengusaha untuk melakukan segala tindakan sepihak berkaitan dengan
barang yang dibeli secara umum.
5. Mengatur perihal pembuktian
atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen .
6. Hak pengusaha untuk mengurangi
manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual
beli jasa.
7. Tunduknya konsumen kepada
peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan yang dibuat sepihak
oleh pengusaha semasa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
8. Pemberian kuasa kepada
pengusaha untuk membebankan hak tanggungan, gadai, atau hak jaminan
terhadapbarang yang dibeli oleh kosumensecara angsuran pasal 56 UU 8/99.
Selain
itu, pengusaha juga dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihatatau tidak dapat jelas dibaca, aytau yang maksuudnya
sulit dimengerti.
Jika
pengusaha tetap mencantumkan klausula baku yang dilarang tersebut, maka
klausula itu batal demi hukum. Artinya klausula itu dianggap tidak pernah ada.
VII. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Tanggung
jawab pelaku usaha diatur dalam Pasal 19, yaitu :
1. Pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, atau kerugian konsumen akibat
mengkonsuumsi barang atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1 ) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang atau jasa
sejenis setara ini lainnya, atau perawatan kesehatan atau jasa yang sejenis
atau setara ini lainnya, atau perawatan kesehatan atau pemberian santunan yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
3. Pergantian ganti rugi
dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi.
4. Pemberian ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan
adanya tuntutan kesalahan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan
bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
VIII. Sanksi
Sanksi bagi pelaku usaha menurt
UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Sanksi perdata ganti rugi
dalam bentuk :
1. Pengembalian uang
2. Penggantian uang
3. Perawatan kesehatan
4. Pemberian santunan ganti rugi
diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
· Sanksi administrasi ganti rugi
dalam bentuk :
Maksimal Rp. 200.000.000,
melalui BPSK jika melanggar pasal 19 ayat (2) dan (3), 20,25 sanksi pidana,
kurungan :
a. Penjara 5 tahun denda Rp.
2.000.000.000, pasal 8,9,10,13 ayat (2),15,17 ayat (1) huruf a, b, c, dan edan
pasal 182.
b. Penjara 2 tahun denda Rp.
5.000.000.000, pasal 11,12,13,ayat (1),14,16,17 ayat (1) huruf d dan f
ketentuan piidana lain (diluar UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen)
· Jika konsumen luka berat, cacat
berat, sakit berat, atau kematian dikenakan 11 hukuman tambahan antara lain :
a. Pengumuman keputusan hakim
b. Pencabutan izin usaha
c. Dilarang memperdagangkan barang
dan jasa
d. Wajib menarik dari peredaran
barang atau jasa.
e. Hasil pengawasan
diisebarluaskan kepada masyarakat.
Sumber
:
http://haniihikmawati.blogspot.com/2013/05/bab-12-perlindungan-konsumen.html
http://retnoyuliyanti.wordpress.com/2012/04/01/makalah-perlindungan-konsumen-4/
http://retnoyuliyanti.wordpress.com/2012/04/01/makalah-perlindungan-konsumen-4/
Minggu ke - 10
Anti Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat
I. Pengertian
Monopoli
murni adalah bentuk organisasi pasar dimana terdapat perusahaan tunggal yang
menjual komoditi yang tidak mempunyai subtitusi sempurna. Perusahaan itu
sekaligus merupakan industri dan menghadapi kurva permintaan industri yang
memiliki kemiringan negatif untuk komoditi itu.
“Antitrust”
untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah
“dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti
istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu
“kekuatan pasar”.
Dalam
praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan
pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya.
UU
No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat mengatur kegiatan bisnis yang baik dalam arti tidak merugikan pelaku
usaha lain. Monopoli tidak dilarang dalam ekonomi pasar, sejauh dapat mematuhi
“rambu-rambu” atau aturan hukum persaingan yang sehat. Globalisasi ekonomi
menyebabkan setiap negara di dunia harus “rela” membuka pasar domestik dari
masuknya produk barang/jasa negara asing dalam perdagangan dan pasar bebas.
Keadaan ini dapat mengancam ekonomi nasional dan pelanggaran usaha, apabila
para pelaku usaha melakukan perbuatan tidak terpuji.
II. Azas dan Tujuan
Tujuan yang
terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai berikut
1. Menjaga kepentingan umum dan
meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif
melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian
kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah,
dan pelaku usaha kecil.
3. Mencegah praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam
kegiatan usaha.
III. Kegiatan yang dilarang
Dalam
UU No.5/1999,kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal
24. Undang undang ini tidak memberikan defenisi kegiatan,seperti halnya
perjanjian. Namun demikian, dari kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan kegiatan disini adalah aktivitas,tindakan secara sepihak.
Bila dalam perjanjian yang dilarang merupakan perbuatan hukum dua pihak maka
dalam kegiatan yang dilarang adalah merupakan perbuatan hukum sepihak.
Adapun
kegiatan kegiatan yang dilarang tersebut yaitu :
1. Monopoli
Adalah
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan
jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
2. Monopsoni
Adalah
situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli
tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak
sebagai penjual jumlahnya banyak.
3. Penguasaan pasar
Di
dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha
yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik
monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
a. menolak dan atau menghalangi pelaku
usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang
bersangkutan;
b. menghalangi konsumen atau pelanggan
pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku
usaha pesaingnya;
c. membatasi peredaran dan atau penjualan
barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan;
d. melakukan praktik diskriminasi terhadap
pelaku usaha tertentu.
4. Persekongkolan
Adalah
bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain
dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha
yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).
5. Posisi Dominan
Artinya
pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak
mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa
yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya
di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses
pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan
permintaan barang atau jasa tertentu.
6. Jabatan Rangkap
Dalam
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seorang yang
menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada
waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada
perusahaan lain.
7. Pemilikan Saham
Berdasarkan
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang
memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan
usaha dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang sama atau mendirikan
beberapa perusahaan yang sama.
8. Penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan
Dalam
Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha yang
berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan bersifat
tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan.
IV. Perjanjian yang dilarang
1. Oligopoli
Adalah
keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit,
sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
2. Penetapan harga
Dalam
rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara
lain :
a. Perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar
oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama ;
b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli
yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar
oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama ;
c. Perjanjian dengan
pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar ;
d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau
memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah
daripada harga yang telah dijanjikan.
3. Pembagian wilayah
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan
untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau
jasa.
4. Pemboikotan
Pelaku
usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk
tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
5. Kartel
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud
untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu
barang dan atau jasa.
6. Trust
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan
kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih
besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap
perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi
dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
7. Oligopsoni
Keadaan
dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
8. Integrasi vertikal
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi
barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan
hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung
maupun tidak langsung.
9. Perjanjian tertutup
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok
atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu
dan atau pada tempat tertentu.
10. Perjanjian
dengan pihak luar negeri
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat
ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
V. Hal-hal yang dikecualikan dalam UU Anti Monopoli
Di
dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999,terdapat hal-hal yang
dikecualikan,yaitu :
Pasal
50
1. perbuatan dan atau perjanjian yang
bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. perjanjian yang berkaitan dengan hak
atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta,
desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta
perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
3. perjanjian penetapan standar teknis
produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi
persaingan;
4. perjanjian dalam rangka keagenan yang
isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan
harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan;
5. perjanjian kerja sama penelitian untuk
peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
6. perjanjian internasional yang telah
diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
7. perjanjian dan atau perbuatan yang
bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam
negeri;
8. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha
kecil;
9. kegiatan usaha koperasi yang secara
khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
Pasal
51
Monopoli
dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang
dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.
VI. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia
yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang
larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU
menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut
· Perjanjian yang dilarang, yaitu
melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol
produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktek
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan
harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory
pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan
pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
· Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan
kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan
pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat.
· Posisi dominan, pelaku usaha yang
menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar,
menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Dalam
pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar
membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain
mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat :
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat :
· Konsumen tidak lagi menjadi korban
posisi produsen sebagai price taker
· Keragaman produk dan harga dapat
memudahkan konsumen menentukan pilihan
· Efisiensi alokasi sumber daya alam
· Konsumen tidak lagi diperdaya dengan
harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli
· Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena
produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
· Menjadikan harga barang dan jasa ideal,
secara kualitas maupun biaya produksi
· Membuka pasar sehingga kesempatan bagi
pelaku usaha menjadi lebih banyak
· Menciptakan inovasi dalam perusahaan
VII. Sanksi
Pasal
36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian,
penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU
juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar UU Anti Monopoli.
Apa
saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU
Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi
administratif,
UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
Pasal
48
1. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4,
Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25,
Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000
(dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000
(seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6
(enam) bulan.
2. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5
sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26
Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 (
lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima
miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima)
bulan.
3. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41
Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu
miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah),
atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal
49
Dengan
menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa
1. pencabutan izin usaha; atau
2. larangan kepada pelaku usaha yang telah
terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki
jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
3. penghentian kegiatan atau tindakan
tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan
ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak
menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau
penyidikan dalam konteks pidana.
Sumber :
Minggu ke - 11
Penyelesaian Sengketa Ekonomi
I. Pengertian Sengketa
Pengertian
sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik,
Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang,
kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Senada dengan itu Winardi mengemukakan : Pertentangan atau konflik yang terjadi
antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau
kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat
hukum antara satu dengan yang lain.
Penyelesaian
perkara perdata melalui sistem peradilan:
1. Memberi kesempatan yang tidak adil
(unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau
orang kaya.
2. Sebaliknya secara tidak wajar
menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di pengadilan.
Tujuan
memperkarakan suatu sengketa:
1. untuk menyelesaikan masalah yang konkret
dan memuaskan,
2. dan pemecahannya harus cepat (quickly),
wajar (fairly) dan murah (inexpensive)
II. Cara-cara Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian
sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau
peperangan dalam suatu persengketaan antar negara.
1. Menurut pasal 33 ayat 1
(Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan)
Piagam PBB
· Negosiasi (perundingan)
Perundingan
merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk
menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
· Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan
dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
· Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak
ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat
menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.
2. Penyelesaian perkara perdata
melalui sistem peradilan
· Memberi kesempatan yang tidak
adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar
atau orang kaya.
· Sebaliknya secara tidak wajar
menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di pengadilan.
3. Cara Lain
Selain
kedua cara diatas, ada cara lain dalam menyelesaiakan sengketa ekonomi.
· NEGOSIASI dan ADR: Negosiasi
adalah sarana paling banyak digunakan. Sarana ini telah dipandang sebagai
sarana yang paling efektif. Lebih dari 80% (delapan puluh persen) sengketa di
bidang bisnis tercapai penyelesaiannya melalui cara ini. Penyelesaiannya
tidak win-lose tetapi win-win. Karena itu pula
cara penyelesaian melalui cara ini memang dipandang yang memuaskan para pihak.
· ARBITRASE: Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase sudah semakin populer di kalangan pengusaha.
Kontrak-kontrak komersial sudah cukup banyak mencantumkan klausul arbitrase
dalam kontrak mereka. Dewasa ini Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI),
sudah semakin populer. Badan-badan penyelesaian sengketa sejenis telah pula
lahir. Di antaranya adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), badan
penyelesaian sengketa bisnis, dll.
· PENGADILAN: Persepsi umum yang
lahir dan masih berkembang dalam masyarakat adalah masih adanya ketidakpuasan
sebagian masyarakat terhadap badan pengadilan. Pengusaha atau para pelaku
ekonomi dan bisnis, terlebih masyarakat awam melihat hukum bukan dari
produk-produk hukum yang ada atau yang pemerintah keluarkan. Masyarakat umumnya
meljhat pengadilan sebagai hukum. Begitu pula persepsi mereka terhadap polisi,
jaksa, atau pengacara.
· MEDIASI: Mediasi adalah upaya
penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak
memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang
bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah
pihak.
· LIGITASI : Proses dimana
seorang individu atau badan membawa sengketa, kasus ke pengadilan atau
pengaduan dan penyelesaian tuntutan atau penggantian atas kerusakan.
III. Negosiasi
Negosiasi
adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak – pihak yang terlibat berusaha
untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Menurut kamus
Oxford, negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui
diskusi formal.
Negosiasi
merupakan suatu proses saat dua pihak mencapai perjanjian yang dapat memenuhi
kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan
kompetisi.Termasuk di dalamnya, tindakan yang dilakukan ketika berkomunikasi,
kerjasama atau memengaruhi orang lain dengan tujuan tertentu
Pola
Perilaku dalam Negosiasi
1. Moving against (pushing): menjelaskan,
menghakimi, menantang, tak menyetujui, menunjukkan kelemahan pihak lain.
2. Moving with (pulling): memperhatikan,
mengajukan gagasan, menyetujui, membangkitkan motivasi, mengembangkan
interaksi.
3. Moving away (with drawing): menghindari
konfrontasi, menarik kembali isi pembicaraan, berdiam diri, tak menanggapi
pertanyaan.
4. Not moving (letting be): mengamati,
memperhatikan, memusatkan perhatian pada “here and now”, mengikuti arus,
fleksibel, beradaptasi dengan situasi.
Ketrampilan
Negosiasi
1. Mampu melakukan empati dan mengambil
kejadian seperti pihak lain mengamatinya.
2. Mampu menunjukkan faedah dari usulan
pihak lain sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi bersedia mengubah
pendiriannya.
3. Mampu mengatasi stres dan menyesuaikan
diri dengan situasi yang tak pasti dan tuntutan di luar perhitungan.
4. Mampu mengungkapkan gagasan sedemikian
rupa sehingga pihak lain akan memahami sepenuhnya gagasan yang diajukan.
5. Cepat memahami latar belakang budaya
pihak lain dan berusaha menyesuaikan diri dengan keinginan pihak lain untuk
mengurangi kendala.
Fungsi
Informasi dan Lobi dalam Negosiasi
1. Informasi memegang peran sangat penting.
Pihak yang lebih banyak memiliki informasi biasanya berada dalam posisi yang
lebih menguntungkan.
2. Dampak dari gagasan yang disepakati dan
yang akan ditawarkan sebaiknya dipertimbangkan lebih dulu.
3. Jika proses negosiasi terhambat karena
adanya hiden agenda dari salah satu/ kedua pihak, maka lobyingdapat dipilih
untuk menggali hiden agenda yang ada sehingga negosiasi dapat berjalan lagi
dengan gagasan yang lebih terbuka.
IV. Mediasi
Mediasi
adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat
para pihak dengan dibantu oleh mediator yang
tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri
utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses
musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah
atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak
sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala
sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.
Prosedur
Untuk Mediasi
1. Setelah perkara dinomori, dan
telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua, kemudian majelis hakim membuat
penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan mediasi.
2. Setelah pihak-pihak hadir,
majelis menyerahkan penetapan mediasi kepada mediator berikut pihak-pihak yang
berperkara tersebut.
3. Selanjutnya mediator
menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara supaya perkara ini diakhiri
dengan jalan damai dengan berusaha mengurangi kerugian masing-masing pihak yang
berperkara.
4. Mediator bertugas selama 21
hari kalender, berhasil perdamaian atau tidak pada hari ke 22 harus menyerahkan
kembali kepada majelis yang memberikan penetapan.
Mediator
Mediator
adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna
mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara
memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Ciri-ciri
penting dari mediator adalah :
1. Netral
2. Membantu para pihak tanpa
menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Tugas
Mediator :
1. Mediator wajib mempersiapkan
usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihakuntuk dibahas dan disepakati.
2. Mediator wajib mendorong para
pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.
3. Apabila dianggap perlu,
mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan terpisah selama proses mediasi
berlangsung.
4. Mediator wajib mendorong para
pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai
pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.
V. Arbitrase
Arbitrase adalah salah satu jenis alternatif
penyelesaian sengketa dimana para pihak menyerahkan kewenangan kepada kepada
pihak yang netral, yang disebut arbiter, untuk memberikan putusan.
Istilah arbitrase berasal dari kata
“Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu
perkara menurut kebijaksanaan”.
Azas- Azas
Arbitrase :
1. Azas kesepakatan, artinya kesepakatan
para pihak untuk menunjuk seorang atau beberapa oramg arbiter.
2. Azas musyawarah, yaitu setiap
perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara
arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu sendiri;
3. Azas limitatif, artinya adanya
pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbirase, yaiu terbatas pada
perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai
sepenuhnya oleh para pihak;
4. Azas final and binding, yaitu suatu
putusan arbitrase bersifat puutusan akhir dan mengikat yang tidak dapat
dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperi banding atau kasasi. Asas ini pada
prinsipnya sudah disepakati oleh para pihak dalam klausa atau perjanjian
arbitrase.
Tujuan
Arbitrase
Sehubungan
dengan asas-asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk
menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan dan hak dikuasai sepenuhnya
oleh para pihak, dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil, Tanpa
adanya formalitas atau prosedur yang berbelit-belit yang dapat yang menghambat
penyelisihan perselisihan.
VI. Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi
Negosiasi
atau perundingan
Negosiasi
adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling
melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi
tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa
tersebut secara baik.
Ligitasi
Litigasi
adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang
terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh
hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution
(solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan
putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain
menjadi pihak yang kalah.
Kebaikan
dari sistem ini adalah:
· Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih
luas
· Biaya yang relatif lebih murah
Sedangkan
kelemahan dari sistem ini adalah:
· Kurangnya kepastian hokum Hakim yang
“awam”
Arbitrase
Arbitrase
adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja
litigasi ini bisa dikatakan sebagai “litigasi swasta” Dimana yang memeriksa
perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh
prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah “klausula arbitrase” di dalam
perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau
“Perjanjian Arbitrase” dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada
klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau
perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan
sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk
memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan
maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar
kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian
arbitrase.
Beberapa
keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
1. Arbitrase relatif lebih terpercaya
karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa
2. Arbiter merupakan orang yang ahli di
bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat.
3. Kepastian Hukum lebih terjamin karena
putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak.
Sedangkan
kelemahannya antara lain:
1. Biaya yang relatif mahal karena
honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak
2. Putusan Arbitrase tidak mempunyai
kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
3. Ruang lingkup arbitrase yang terbatas
hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal,
dan sebagainya)
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar